Cerita dari Lembang : Berkat Kemasan Baru, Penjualan Meningkat

Penulis: Rahma Wulandari

Trainer kontributor: Gadis Triwahyuni

Kembali ke kampung halaman untuk berwirausaha menjadi pilihan Nasry, warga asal Balingagak, Desa Sengkerang, Praya Timur, Lombok Tengah. Setelah sempat merantau dan kerja serabutan di Jakarta sejak lulus kuliah, ia memutuskan untuk merintis usaha camilan di rumahnya setelah terdampak pandemi. “Saya kebingungan tidak punya penghasilan dan tidak punya modal dan pengetahuan untuk membuka usaha. Di awal pandemi, Maret 2020, saya sempat mau buat usaha keciprut, jajanan khas Lombok. Ternyata produknya kurang cocok untuk target pasar wisatawan,” kisah Nasry.

Niat baik Nasry ternyata bertepatan dengan kesempatan mengikuti kelas Pembekalan Kewirausahaan Tahap Awal Perorangan dari BBPPK & PKK Lembang pada tahun 2020 lalu. Dari pelatihan itu, Nasry mendapat modal usaha sebesar Rp10 juta. “Kini saya memproduksi keripik singkong dan keripik talas karena bahan bakunya mudah didapat. Pemasarannya juga mudah dan cocok untuk lidah dan kantong warga lokal,” kata Nasry yang menjual keripiknya dalam kemasan-kemasan kecil untuk penjualan eceran mulai dari harga Rp1.000-Rp5.000 ke toko-toko kecil dan toko grosir sembako.

Nasry memproduksi keripik singkong sekitar 100 kg dibantu istri dan enam orang kerabatnya, termasuk untuk urusan pemasaran dan berkeliling desa untuk promosi produk. Dalam sebulan, mereka bisa memproduksi keripik empat-lima kali. “Saya juga memanfaatkan jasa teman dari daerah sekitar Lombok untuk promosi produk ke kecamatan lain,” kata Nasry.

Di awal mengikuti pelatihan di Lembang, ia sempat bingung mau membuat usaha apa. “Dari dulu saya selalu ingin punya usaha sendiri. Tapi, pemasukan saya tidak tentu, jadi tidak ada modal. Dari kelas ini, saya mendapatkan pencerahan dari teman-teman dan trainer, untuk memulai usaha harus punya tekad kuat. Apa pun rintangannya, harus dihadapi,” ujar Nasry berapi-api.

Ia mulai menemui tantangan dalam usahanya. Kadang produk lambat habis karena distribusi ke sekitar 20 toko di desanya dan di desa lain terhambat oleh hujan. Peminat keripiknya masih tinggi dan stok keripik bisa bertahan dua bulan walau tanpa pengawet. “Saya masih ingin meningkatkan skala produksi. Tapi, semangat istri dan tim saya kadang melemah. Pemasukan belum cukup besar, dan rasanya kadang ingin menyerah kalau capek.”

Ilmu dari pelatihan di Lembang langsung ia terapkan untuk memperbaiki usahanya. “Walau ada kompetitor usaha keripik juga di desa saya, nilai lebih usaha saya terletak pada kemasan plastik press dengan stiker label Aneka Keripik Nazra. Dengan harga sama, keripik kami lebih dikenal warga. Selain itu, keripik lebih tahan lama dan lebih gurih berkat teknik menggoreng yang berbeda. Produk kami bisa bersaing dengan keripik pabrikan,” tuturnya bangga.

Ia juga memperbaiki harga jualnya setelah belajar menghitung harga pokok penjualan di kelas Lembang. “Dulu saya juga tidak teliti dengan uang. Saya sudah memisahkan pendapatan usaha, termasuk uang yang diputar kembali sebagai modal. Saya juga menyisihkan uang untuk membeli alat agar bisa menambah kapasitas produksi,” ujar Nasry bersemangat.

“Saya masih tetap optimis. Usaha saya belum balik modal, karena berjalan beberapa bulan. Tapi kami setidaknya bisa menargetkan keuntungan sebesar 20persen dari tiap kali produksi. Kini, penjualan online lewat Facebook pribadi dan status WhatsApp dan grup juga lebih banyak dibandingkan penjualan offline,” kata Nasry.